<b>Produk – Produk BMT</b>
Penjelasan mengenai produk BMT dengan mengacu pada Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, produk penghimpunan dana yang ada di BMT pada umumnya berupa simpanan atau tabungan yang didasarkan pada akad wadiah dan akan mudharabah. Untuk itu dalam BMT dikenal adanya dua jenis simpanan yaitu simpanan wadiah dan simpanan mudharabah.
Secara fikih akad wadiah ditinjau dari boleh tidaknya penerima titipan untuk memanfaatkan barang titipan tersebut dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Wadiah al-Amanah, yaitu akad wadiah yang mana pihak yang menerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang yang dititipkan.
2. Wadiah ad Dhamanah, yaitu akad wadiah yang mana pihak yang menerima titipan diperbolehkan untuk memanfaatkan uang/barang yang dititipkan, dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu pemilik barang membutuhkan uang/barang yang bersangkutan masih utuh.
BMT akan menggunakan akad Wadiah ad Dhamanah dalam produk simpanannya, sehingga ia dapat menggunakan dana yang disimpan oleh nasabah untuk kegiatan produktif. Hal demikian juga mendatangkan keuntungan bagi nasabah, yakni bahwa nasabah dimungkinkan mendapatkan bonus yang besarnya tergantung pada kebijaan BMT dan tidak boleh diperjanjikan di muka. Melalui simpanan wadiah nasabah BMT terhindar dari risiko kerugian, akan tetapi potensi penghasilan atau keuntungan yang akan diperoleh juga kecil karena sangat tergantung pada kebijakan dari BMT yang bersangkutan.
Dalam hal nasabah BMT menghendaki uang yang di simpan juga memberikan tambahan pendapatan atau memang ditujukan sebagai sarana investasi maka BMT biasanya juga menyediakan produk simpanan yang di dasarkan pada akad mudharabah. Melalui simpanan mudharabah nasabah berpeluang mendapatkan penghasilan yang besarnya sesuai dengan nisbah bagi hasil yang telah diperjanjikan di awal akad. Namun demikian nasabah yang memakai skema simpanan mudharabah juga menanggung risiko kerugian atas uang yang ia simpan.
Kedua, produk penghimpunan dana yang di sediakan oleh BMT bisa mendasarkan pada akad-akad tradisional Islam, yakni akad jual beli, akad sewa-menyewa, akad bagi hasil, dan akad pinjam meminjam.
1. 1. Jual Beli
Jual beli intinya adalah akad antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli, dimana obyeknya adalah barang dan harga. Adapun penerapan dari akad jual beli ini dalam transaksi BMT tampak dalam produk pembiayaan murabahah, salam, dan istishna. Dengan demikian akad jual beli hanya dapat diterapkan pada produk perbankan berupa penyaluran dana. Adapun pengertian dari masing-masing jenis pembiayaan dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Murabahah
, adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.
2. Salam
, adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
3. Istishna
, adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Implementasi akad murabahah, salam, dan istishna, khususnya dalam praktik BMT secara teknis dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam, dan Fatwa DSN MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna.
1. 2. Bagi Hasil
Penerapan akad bagi hasil dalam transaksi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) inilah yang lebih dikenal di masyarakat karena memang fungsinya sebagai pengganti bunga. Akad ini unik, karena dalam praktik BMT bisa diterapkan dalam dua sisi sekaligus, yaitu sisi penghimpunan dana (funding) dan sisi penyaluran dana (lending).
Implementasi akad bagi hasil dalam produk BMT di bidang penghimpunan dana sebagaimana disebut di atas dalam bentuk simpanan, sedangkan implementasinya dalam produk penyaluran dana adalah pada produk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah. Secara teknis mengenai penerapan akad mudharabah dalam bentuk pembiayaan dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) dan untuk penerapan akad musyarakah dalam produk pembiayaan dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.
1. 3. Sewa-Menyewa
Sewa-menyewa merupakan perjanjian yang obyeknya adalah manfaat atas suatu barang atau pelayanan, sehingga bagi pihak yang menerima manfaat berkewajiban untuk membayar uang sewa/upah (ujrah). Dalam praktik BMT akad sewa-menyewa ini diterapkan dalam produk penyaluran dana berupa pembiayaan ijarah dan pembiayaan ijarah muntahia bit tamlik (IMBT), yang penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Ijarah
adalah transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Secara teknis mengenai penerapan akad ijarah di BMT dapat mengacu pada Fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
2. Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT)
, adalah transaksi sewa-menyewa yang memberikan hak opsi di akhir masa sewa bagi pihak penyewa untuk memiliki barang yang menjadi obyek sewa melaluai mekanisme hibah ataupun melalui mekanisme beli. Secara teknis mengenai implementasi IMBT ini dapat dibaca dalam ketentuan Fatwa DSN MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Mutahiyah bi Al-Tamlik.
4. Pinjam-meminjam yang Bersifat Sosial
Dalam sistem konvensional produk penyaluran dana berupa kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjam dengan ketentuan bahwa nasabah debitur wajib membayar bunga berdasarkan presentase tertentu terhadap pokok pinjaman. Ini merupakan riba, yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Dalam Islam akad pinjam-meminjam juga disediakan tetapi hanya pada keadaan emergency, artinya bahwa pinjaman akan diberikan hanya kepada nasabah yang benar-benar membutuhkan uang. Pihak BMT selaku pemberi pinjaman dilarang meminta imbalan betapapun kecilnya, karena itu termasuk riba.
Dalam operasional BMT transaksi pinjam-meminjam ini dikenal dengan nama pembiayaan qardh, yaitu pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Ada juga qardh al-hasan (pinjaman kebajikan), yang pada dasarnya dalam hal nasabah tidak mampu mengembalikan, maka seyogyanya pihak pemberi pinjaman bisa mengikhlaskannya. Secara teknis mengenai pembiayaan qardh ini mengacu pada Fatwa DSN MUI No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang al Qardh.
Ketiga, produk jasa merupakan produk yang saat ini banyak dikembangkan oleh LKS termasuk BMT, karena melalui produk ini bank akan mendapatkan pendapatan berupa fee. Dengan semakin banyaknya jenis produk jasa yang diberikan oleh BMT kepada nasabahnya, maka semakin besar pula pendapatan BMT yang bersangkutan dari sektor ini. Adapun mengenai produk jasa misalnya di dasarkan pada akad wakalah. BMT berdasarkan akad wakalah ini dapat memberikan jasa, misalnya dalam perpanjangan STNK, SIM, KTP, dan sebagainya.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah berperan sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat yang mempunyai dana lebih (surplus unit) dan menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan dana (deficit unit). Dalam rangka optimalisasi peranan BMT untuk pengembangan sektor ekonomi riil, maka fungsi BMT di bidang penyaluran dana khususnya dalam bentuk pembiayaan produktif perlu lebih ditingkatkan.
Demikian sekilas info dari saya semoga bermanfaat
0 komentar:
Posting Komentar